Telepon Sentral Dakwah dan Renungan tentang Popularitas:
Telaah Bait Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Telepon Sentral Dakwah dan Renungan tentang Popularitas:
Telaah Bait Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Dunia hari ini telah berubah menjadi panggung besar. Di media sosial, setiap individu bisa menjadi pusat perhatian. Popularitas menjadi dambaan banyak orang. Namun, benarkah popularitas membawa ketenangan? Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, pernah berujar:
“Avoid popularity if you would have peace”
(Jika Anda menginginkan kedamaian, hindarilah popularitas)
Pernyataan ini memiliki bobot makna yang dalam, dan tidak bisa begitu saja diabaikan. Popularitas memang kerap membawa konsekuensi: tekanan sosial, ekspektasi publik, bahkan jebakan pujian. Namun, bagi umat Islam, khususnya dalam tradisi pesantren, persoalan popularitas tidak disikapi dengan hitam-putih. Ia dilihat dalam konteks niat dan maqāṣid (tujuan).
Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, ulama kharismatik pendiri organisasi Nahdlatul Wathan (NW) dan pengarang kitab/buku Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru (WRMPB), menulis sebuah bait syair yang kaya akan makna:
“Telepon sentral di alam bebas
Sambung menyambung tidak terbatas
Ke kanan kiri bawah atas
Sampaikan berita kontan dan puas”
(WRMPB, Bait ke-40)
Secara simbolik, bait ini bukan sekadar berbicara tentang teknologi komunikasi, tetapi menyimpan makna spiritual. “Telepon sentral” bisa dimaknai sebagai hati seorang da’i yang tersambung dengan pusat kendali ruhani, yakni Allah SWT. Sementara “sambung menyambung tidak terbatas” menggambarkan kekuatan pengaruh dakwah yang tulus dan tidak mengenal sekat sosial maupun geografis.
Dakwah yang berangkat dari keikhlasan tidak membutuhkan sorotan kamera. Ia menjalar, menyentuh ke kanan, kiri, bawah, dan atas, yakni semua lapisan umat karena berasal dari mata air hati yang jernih. Dan yang lebih penting, “berita” atau pesan yang dibawa oleh sang da’i akan sampai “kontan dan puas”; artinya diterima langsung dengan senang hati dan menenteramkan karena lahir dari ketulusan.
Dalam dunia sufistik, ini yang disebut sebagai sirr al-daʿwah (سرّ الدعوة) - kekuatan tersembunyi dari pesan kebenaran yang disampaikan dengan hati yang bersih. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang ḥakīm:
لاَ تَطْلُبِ الْقَبُوْلَ مِنَ النَّاسِ، فَإِنَّ قُبُوْلَ اللهِ أَعْظَمُ
“Jangan engkau cari penerimaan di mata manusia, sebab penerimaan dari Allah itu jauh lebih agung.” (Tanbīh al-Mughtarrīn karya Imam al-Harawi)
Maka, jika popularitas datang karena keikhlasan dan kerja nyata, ia bukan musibah. Namun, jika popularitas menjadi tujuan, ia bisa menjadi fitnah. Inilah yang juga diingatkan oleh para ulama:
اَلْجَاهُ شَجَرَةٌ ثَمَرُهَا خَطَرٌ
“Popularitas itu pohon, dan buahnya adalah bahaya.”
Dalam sejarah Islam, kita mengenal para ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Imam Malik yang justru dikenal luas bukan karena mereka mencari ketenaran, tetapi karena ilmu dan ketakwaan mereka menembus hati umat. Dalam konteks Indonesia, Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga bukan tokoh yang mengejar panggung, tetapi karena kontribusinya dalam dunia pendidikan, sosial dan dakwah, beliau dikenang bahkan hingga diberi gelar Pahlawan Nasional oleh negara.
Dalam konteks ini, bait ke-40 dari WRMPB adalah kritik halus terhadap dunia yang terobsesi pada popularitas, namun kehilangan koneksi ruhani. Dakwah sejati bukan soal siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling ikhlas. Pesan inilah yang sejalan secara nilai dengan pernyataan Abraham Lincoln, meski lahir dari latar dan bahasa yang berbeda.
Oleh karena itu, penting bagi kita terutama para pendidik, pendakwah, dan penggerak kebaikan untuk merenungi kembali: Apakah suara kita bersambung dengan “sentral ruhani”, atau sekadar memekik tanpa makna? Apakah kita menyampaikan kebenaran karena cinta pada umat, atau karena ingin diakui dan dipuji?
مَنْ طَلَبَ الْمَقَامَ عِنْدَ اللهِ، لاَ يُبَالِي بِالْمَقَامِ عِنْدَ النَّاس, ومنِ طَلَبَ الْمَقَامَ عِنْدَ النَّاس لاَ يُبَالِي بِالْمَقَامِ عِنْدَ اللهِ
“Barangsiapa mencari kedudukan di sisi Allah, maka ia tak lagi peduli terhadap kedudukan di mata manusia, dan siapa yang mencari kedudukan di mata manusia, maka dia tidak akan peduli terhadap kedudukan di sisi Allah”
Walluhu A'lamu bi Al-shawab.
(Red. Abu Naura)